Kamis, 04 Januari 2018
Sajak : Gunung Mbeliling
Oleh : Guntenda Halilintar
Ku berdiri meratapi gunung mbeliling
Mentari pagi perlahan merangkak dari persembunyiannya
Memcoba mengusir dinginnya embun pagi yang menyelimuti tubuh ku
Rasanya tubuh ini ingin dimanjakan dengan kehangatan mentari pagi
Oh tuhan, ku akui kebesaran mu
Tak mampu ku sembunyikan rasa ku
Lukisan alam ini begitu megah
Mbeliling, wajah indahmu tak kunjung tua
Bagai gadis belia yang belum disentuh oleh tang an-tangan nakal
Wajah hijau mu begitu menawan
Pohon-pohon hijau menjulang tinggi
Dedaunan berterbangan, seolah menabur bunga bagi pengantin baru
Udara yang sejuk tanpa polusi
Melambangkan hati dan budaya
Bagi penghuni-penghuni mu
Di kaki bukit mbeliling, terdapat air terjun cunca rami
Tampil sebagai model pariwisata
Tak kala turis-turis mancanegara
Menyaksikan keindahannya
Cunca rami sungguh memukau
Memikat hati para pengunjungnya
Terdengar jauh burung-burung bernyanyi
Seakan ucapan rasa Syukur pada sang pencipta
Nyanyian itu juga seakan menghiburku pagi itu
Berterbangan diawan
Menembus cakrawala
Menyambut sang mentari
Kupu-kulu mulai merangkat
Mengintai kumbang di lereng mbeliling
Hewan liarpun mulai keluar dari tempat persembunyiaanya
Memenuhi kebutuhan hidupnya pagi itu
Mbeliling
Adalah jiwa kami
Ibu kami, ibu dari segala ibu
Jagalah alam yang indah ini
Jangan biarkan tangan jahil mencabikny
Rangat, 1 januari 2017
Puisi : Untuk Gubernur NTT
Oleh : Guntenda Halilintar
Acara Penjemputan Gubernur NTT Frans Leburaya di Bandara Komodo dalam mengikuti agenda pengukuhan kepala SMA/SMK utk 5 Kabupaten (Manggarai Raya, Ngada dan Nagekeo) di Aula Sekda Manggarai Barat. |
Seorang raja berkeliaran dijalan
budak dan pelayan bertumpah ruah kejalan
Begitu asiknya kau berjalan
Tanpa sedikitpun ada beban
Bahkan senyum mu begitu menawan
Bunga hiasan tersipu malu
Sebab sang raja berkantong tebal kejalan
Kau tunjukan keramah tamahan mu dihadapan mereka
Sementara dibelakang mereka kau seperti lintah
Tak terlihat lagi keramah tamahan mu
Tak terlihat senyum mu yang menawan
Kau membawa murkah
Bahkan darah saudara mu sendiri kau hisap sampai wajahnya keriput
Wahai gubernur ku
Apa kabar mu?
Sudah lama aku tak menulis tentang mu
Bukan berarti aku seperti bupati ku
Bahkan hari ini kau tak disambut gonggongan kecil
Semua mendadak seperti prilaku bupati mabar
Yang bungkam disetiap persoalan
Tidak banyak ocehan
Toh saya sudah dapat recehan
Wahai gubernur ku
Aku tak diam seperti mereka
Bahkan kantong ku tak tebal seperti mereka
Meskipun suara ku kecil diantara suara-suara yang besar
Hari ini kau begitu bebas berkeliaran
Bahkan tak kudengar gonggongan
Wahai penikmat keringat
Aku muak melihat muka mu
Dengan penuh kebencian
Kau lemparkan senyum untuk kami
Yang kami lihat wajah mu penuh dengan kemunafikan
Mulut mu penuh dengan sumpah serapah
Dengan tipu daya dan penindasan
Di lidahnya ada kelaliman dan kejahatan
Matanya mengintik orang yang lemah
Rupa mereka seperti singa
Bernafsu untuk menerkam kaum yang lemah
Sesungguhnya mereka itu hamil dengan kejahatan
Ia mengandung kelaliman dan melahirkan dusta
Wahai sahabat ku
Engkau bukan asap yang lenyap disapu angin
Ku rindu gonggongan mu itu
Yang hampir tak ku dengar
Ku rindu ringkik mu
Yang keras memaki onani
Jakarta (Marga III), 4 Januari 2018
Langganan:
Postingan (Atom)