Senin, 19 Oktober 2015

Published 02.34.00 by with 0 comment

Sejarah Terbentuknya Beo (Kampung) Orang Kempo Kab. Manggarai Barat.

Kampung atau perkampungan dalam bahasa Kempo dinamakan  Beo. Sejumlah rumah tempat tinggal serta penghuni dan berbagai faktor pendukungnya. Kampung bagi orang Kempo merupakan tempat atau lingkungan untuk menjalani hidup, sejak masa kecil sampai dewasa hingga masa tua. Kehidupan dari waktu ke waktu tidak terlepas dengan apa yang ada atau apa yang terjadi di kampung. Kampung merupakan bagian dari kehidupan orang Kempo. Seperti tempat-tempat lain di bumi ini, beo atau kampung dari Orang Kempo memiliki sejarah dalam pembentukan nya. Termasuk juga di dalamnya beberapa perubahan bentuk, struktur, maupun letaknya seiring perkembangan jaman. Ada yang mengalami pergeseran, ada yang tak pernah berubah dan ada pula yang telah ditinggalkan. Jika dilihat dari asal usul dan sejarahnya, Beo dapat dibagi dalam 5 kategori berikut; 

1. Beo Pu'u (Kampung Asal) 
Kampung asal atau Beo Pu'u yang dimaksud disini adalah kampung yang telah cukup lama ada dan berdiri, hingga pada masa modern seperti sekarang. Belum ada pengakuan resmi atau data yang akurat mengenai Beo pu'u Data Kempo yang merupakan kampung pertama. Karena belum ada yang melakukan riset akan hal tersebut. Nama-nama kampung yang akan disebutkan nanti, adalah sebagian dari kampung-kampung yang telah lama berdiri atau kampung tertua. Karena tidak ada bukti peninggalan atau bukti sejarah untuk menguatkan cerita asal-usul sebuah kampung, sehingga menjadi sulit sekali untuk menentukan kampung mana yang lebih dulu ada dari beberapa kampung tua yang ada di sekitarnya. Ciri-ciri beo pu'u dapat digambarkan sebagai berikut; 

1.  Pada umumnya, Beo Pu'u pola nya linear atau berbentuk liup ( mengelilingi) compang (mesba penyembahan) dengan di satu sisi terbuka untuk pa'ang (gerbang kampung) dan salang (jalan). Bentuk terbuka di satu sisi ini lebih dari sekedar salang lako, tapi intinya adalah sebagai tempat sut nai (rongga nafas) dari kampung tersebut. Orang Kempo percaya akan energi positif dan negatif untuk sebuah pendirian kampung. Meski bagi Ata Kempo, umumnya salang puci (jalan masuk) sama dengan salang kole (jalan keluar). Tidak hanya untuk bentuk kampung, dalam pembagian uma (lahan garapan) pun setiap kebun memiliki cicing (batas luar) sebagai tempat pemiliknya keluar dari kebun. Begitu juga bentuk sekang (rumah) Data Kempo jaman dulu, hanya memiliki satu para (pintu) untuk keluar masuk rumah.Pola linear atau mengumpul ini juga bertujuan agar mudah untuk caing tau (saling menjangkau), lelo cama tau (memantau sesama), lambu tau (saling mengunjungi) dari berbagai macam duing (suasana) dan nuing (keadaan) yang dihadapi. Misalnya ketika lasa / beti (sakit) atau dalan hal tegi campe (meminta bantuan) tetangga, tidak terlalu jauh. 

2. Pemilihan tempat untuk pendirian beo mengikuti kepercayaan animisme dan dinamisme. Ata Kempo percaya bahwa posisi tanah dalam pendirian kampung menentukan kelangsungan hidup penduduk kampung itu sendiri jadi hal ini sangat diperhitungkan. Wewo golo/Tondong (punggung bukit) diyakini sebagai salang lako (tempat berjalan) dan berlalu-lalang nya beang tana (roh-roh jahat), kakartana (jin) dan semacamnya. Bengkok / malok (lembah) diyakini sebagai tempat para jin kawe hang (mencari makan). Karena ata Kempo tidak mau pala tau (bersinggungan) dengan beang tana (makhluk penghuni alam lain), maka kebe/kekep (lereng) menjadi tempat pilihan yang terbaik. 

3. Diantara puncak gunung dan lembah, lereng yang dipilih sebagai tempat untuk mendirikan kampung berada one reha (di tengah) keduanya. Perhitungannya sederhana, efisien waktu dan efektif untuk melanjutkan hidup. Jika pemilihan tempat untuk beo berada di lereng, maka tempat yang baik untuk depang kawe hang (bekerja mencari makan) atau wonok (berburu) adalah di lembah / lereng. Ditinjau dari sisi alamiah makhluk hidup, semua kaka (binatang) maupun pu'u haju (tumbuhan) membutuhkan wae (air), dan tempat air mengalir adalah ke tempat yang lebih rendah yaitu lembah. Tempat yang baik untuk berburu dan mencari makanan, dan bertahan hidup. Sementara ketika kemarau tiba, hutan atau pedalaman bukit sebagai tempat untuk mencari makan atau berburu. Hal ini belum banyak yang mengakuinya, tetapi setahu penulis, inilah laseng (kebiasaan) orang Kempo jaman dulu, saat lokang oke (ladang berpindah) sebelum mengenal lahan garapan tetap seperti galung (sawah) dan uma (kebun). 

4. Pemilihan kebe (lereng) juga dianggap strategis dalam pertahanan. Sifat utama manusia untuk menguasai yang lain, terutama dalam mboro tana (perebutan lahan garapan) antar kampung, membuat Ata Kempo mencari cara untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Dengan posisi kampung yang berada di lereng, akan lebih mudah memantau setiap pergerakan musuh yang datang menyerang. Karena tidak mungkin musuh menyerang dari arah punggung bukit yang merupakan hutan belantara. Ditambah lagi, jika terjadi wajo kampong purak mukang (musuh yang datang menyerang kampung), akan menunjukan dirinya dengan masuk dari arah pa'ang (gerbang kampung), yang juga satu-satunya jalan masuk menuju kampung. Dan jika hal itu terjadi, ata ngara beo (penghuni kampung) tidak akan tinggal diam, mereka dengan sekuat tenaga menahan musuh yang coba masuk ke kampung. Namun jauh sebelum mendekati pa'ang, musuh akan dihadang atau diperlambat dengan berbagai cara, semisal pande nggolong watu (menggulingkan batu). Atau membuat lawan kelelahan, karena sebelum mencapai kampung, musuh sudah kelelahan karena lako tuke (jalan yang menanjak) untuk mencapai beo. Biarkan musuh mengalahkan dirinya sendiri. 

2. Mukang (Pemukiman Baru) 
Mukang adalah cikal bakal sebuah kampung yang baru. Dilihat dari arti katanya, mukang dapat dibagi dalam dua suku kata; mu dari kata mo yang berarti pergi, dan kang dari kata kaeng yang artinya tinggal / menempati. Jika digabungkan menjadi, mo kaeng yaitu pergi (ke kebun) untuk menetap / tinggal untuk sementara waktu. Ada beberapa hal yang membuat mukang berubah menjadi sebuah beo / kampung, yaitu; 

1. Mula-mula, mukang terbentuk dari uma rana (lahan garapan baru). Di lahan garapan baru ini, awalnya berdiri beberapa sekang riang (bangunan tempat berteduh).Karena umumnya wa'u wini (musim tanam) dimulai pada awal dureng (musim hujan), sekang riang pun dibuat lebih baik dan lebih dari sekedar tempat berteduh menjadi Bonggok (..baca Bonggok; Jenis-jenis sekang Data Kempo). Berubahnya sekang riang menjadi bonggok, kadang juga bermaksud sebagai persiapan di musim panen kelak, untuk menampung hasil kebun. 

2. Sebelum mengenal galung (sawah), konsentrasi pekerjaan adalah bekerja di uma (pertanian lahan kering). Aktivitas harian, duat le gula we'e le mane (berangkat pagi, pulang sore) kadang menguras tenaga dan waktu, apalagi jarak kampung dan lahan garapan cukup jauh. Entah karena mael (kebosanan) karena duat-we'e (pergi-pulang) kampung dan uma, atau juga karena banyaknya one motang (serangan babi hutan) dan one kode (monyet), maka kebun harus di tokong (di jaga).Dari beberapa situasi tersebut, banyak yang memilih untuk tinggal sementara di ladang hingga musim panen selesai. Hanya sesekali saja pulang kampung, untuk sesuatu keperluan yang penting saja. 

3. Uma lokang atau lahan garapan yang dikerjakan dua kali, membuat petani semakin betah tinggal di kebun. Awalnya mungkin hanya satu dua keluarga, kemudian ada keluarga yang mengikutinya, hingga ada lebih dari 4-5 keluarga. Dengan semakin lama tinggal di kebun, sedikit demi sedikit bonggok pun dibuat lebih baik hingga menyerupai sekang kaeng (rumah tinggal). 

4. Setelah uma lokang selesai dipanen, sebagian besar pemiliknya memilih untuk meninggalkan nya dan membiarkan nya tak ter urus. Namun bagi mereka yang telah membangun bonggok memiliki penilaian lain. Setelah dirasa lahan tersebut merupakan lahan yang subur, mereka akan tetap mengurusi nya dan menanami kembali lahan garapan tersebut dengan berbagai macam tanaman, baik bahan pangan maupun tanaman perkebunan. Apalagi beberapa faktor pendukung seperti mata wae (mata air) yang dekat, tidak ada gangguan binatang buas, dan tidak ada gangguan roh-roh jahat, dan jarak tempuh maupun posisinya tidak terlalu sulit di jangkau dari Beo Pu'u.Mereka yang biasanya memilih untuk tetap tinggal adalah orang yang tidak memiliki rumah sendiri di Beo Pu'u atau menumpang di rumah kerabat. Bisa juga orang yang telah berkeluarga dan masih satu rumah dengan orang tuanya. Salah satu cara halus untuk mandiri dengan memilih keluar dari rumah orang tua dan membangun keluarganya bersama anak istri, salah satunya adalah kaeng one uma (tinggal di kebun).

5. Setelah memilih untuk tinggal di kebun, beberapa keluarga tersebut mulai membentuk suatu pemukiman baru. Dari yang awalnya berjauhan, karena mendirikan bonggok biasanya di kebun yang menjadi bagiannya sendiri, kini mereka memilih untuk tinggal berdekatan. Dengan perhitungan tempat yang strategis tentunya, yaitu  bagian uma yang agak lereng, tidak dekat dengan pohon besar yang mudah tumbang, atau tidak dekat dengan batu besar yang kemungkinannya bisa terguling, atau tanah yang bisa longsor. Setelah semua hal tersebut terpenuhi, bisa saja mereka yang bagian kebunnya agak jauh dari yang lain, meminjam tanah atau dipinjamkan tanah oleh yang lainnya, untuk membangun sekang agar berdekatan. Bonggok pun ditata ulang menjadi sebuah sekang kaeng, lengkap dengan bagian-bagiannya. 

6. Walaupun rumah atau sekang kaeng sudah menyerupai sekang di beo / kampung, namun bisa saja belum tampak seperti beo aslinya. Misalnya, belum ada lempar di siri reha, belum ada pa'ang, belum ada compang dan belum ada Tua Golo (Kepala kampung). Karena beberapa hal masih terikat dengan beo pu'u, dan masih diharuskan untuk ikut nempung (rapat) di beo pu'u. Sementara sebagai pengganti Tua Golo, biasanya seseorang yang lebih tua atau yang lebih pandai berbicara adat, dipercaya untuk menjalankan tugas Tua Golo. Mengenai tata cara atau proses menjadi beo/kampung utuh dari sebuah mukang, belum tahu pasti.  Atau bisa saja tergantung kesepakatan dari warga mukang dengan meminta pertimbangan Tua Golo di Beo Pu'u. 

7. Pola perkampungan dari Mukang kadang tak sama persis dengan Boe Pu'u, hal ini karena masyarakat telah mengenal dan mengakui kepemilikan atas tanah. Sehingga mukang yang telah berubah menjadi beo, mengikuti bentuk pembagian tanah, tidak lagi linear seperti Boe Pu'u. Inilah yang menyebabkan mengapa kampung-kampung yang muncul belakangan tak lagi berkumpul mengitari compang. Tapi bentuknya berderet, ditambah lagi adanya pembukaan salang (jalan) di tengah kampung, seperti yang terlihat pada perkampungan modern sekarang. 

8. Jika dalam perjalanannya, Mukang tidak berkembang atau banyaknya rumah yang tak ditempati lagu oleh penghuninya, karena sesuatu alasan dan tidak nyaman lagi untuk ditempati. Maka penghuninya pun kembali ke Beo Pu'u / kampung asal. Mukang yang telah ditinggal pergi oleh penghuninya berganti menjadi monang.  Monang dari kata mo neng toe yang artinya sesekali saja pergi. 

9. Tapi jika berubah menjadi sebuah beo utuh, Beo Pu'u dan beo yang terbentuk dari mukang, masih terikat hubungan Ase-Kae, dengan hak yang sama dalam hal pembagian lahan dan beberapa hal lainnya. Dan biasanya tempat Mukang itu sendiri masih dalam lingko (wilayah) dari Beo Pu'u. 

3. Beo Long 
Dari etimologi kata, long dapat diuraikan; mo lor yang artinya pergi untuk waktu yang lama, atau legong yang artinya meninggalkan, atau lejong yang artinya berkunjung untuk waktu yang lama. Atau dalam penggunaan sehari-hari, kata long berarti bau amis. Bau identik dengan sikap, perilaku, maupun kebiasaan yang telah melekat dalam diri atau dalam kehidupan bersama, akan terus terbawa sampai ke tempat yang baru. Semua hal ini memiliki keterkaitan dengan apa yang dilakukan atau yang terjadi di tempat long nanti. Sejak jaman dulu, Ata Kempo telah mengenal tradisi semacam transmigrasi lokal. Pergi meninggalkan kampung dan menetap di tempat tujuan baru di luar lingko Beo (hak ulayat kampung) untuk jangka waktu yang lama. Ada beberapa hal atau alasan terjadinya long; 

1. Lonto one/Kope Nggabang.Lonto one (tinggal dalam) adalah sebuah situasi dimana setelah menikah, yang seharusnya pasangan suami istri yang baru menikah di padong (di antar) ke kampung laki-laki, namun karena permintaan orang tua perempuan, laki-laki yang baru menikah tersebut tinggal bersama mertuanya.Sementara Kope Nggabang adalah suatu keadaan dimana seorang laki-laki, belum mampu melunasi paca (mahar pernikahan), dan diharuskan bekerja pada orang tua si perempuan.Atau juga seseorang yang kaeng one Weta (tinggal dengan keluarga saudara perempuannya) atau kaeng one Inang (tinggal bersama saudara perempuan ayahnya).Baik ata lonto one, kope nggabang, maupun ata kaeng one Weta / Inang, jika ada lodok weru (pembukaan lahan garapan baru) akan diajukan atau ditawarkan untuk mendapatkan bagiannya.Lama kelamaan, seseorang dari mereka mengajak saudaranya, untuk sama-sama menerima bagian lahan baru, dan mereka membuka mukang weru (pemukiman baru) di lahan garapan tadi. 

2. Tenteng tuak tegi tanah (Meminta bagian dalam pembukaan lahan garapan baru)Dalam hal ini sekelompok orang mendatangi Tua Golo (kepala kampung) di kampung lain dan meminta lahan garapan baru untuk dijadikan kebun. Sebelumnya tentu mereka sudah mendengar bahwa kampung tersebut berencana membuka lahan garapan baru. Sekelompok orang tersebut akan berada cukup lama di tempat itu nantinya, hingga panen di tahun kedua selesai, atau akan mengambil bagian jika ada pembukaan lahan garapan yang baru lagi. Di lahan garapan baru itulah mereka membuat mukang weru. 

3. Bantang uma cama (Mengajak orang untuk membuka lahan baru). Jika sebuah kampung tidak memiliki banyak penghuni, dan mereka akan membuat lahan garapan baru, Tua Golo kampung tersebut mengutus orang untuk mengundang orang di kampung lain untuk bersama poka puar tiba uma (menebang hutan untuk dijadikan lahan garapan). Kampung yang dituju biasanya masih ada hubungan Ase-Kae atau Weta Nara.Karena besarnya lahan yang digarap maupun lamanya waktu menggarap lahan, lambat laun mereka semakin betah di tempat tersebut dan mulai mendirikan Mukang.Mukang weru di tempat tujuan long yang ditingkatkan statusnya menjadi Beo, dinamakan Beo Long. 

4. Menjaga perbatasan.Hal ini erat kaitannya dengan kekuasaan Dalu Kempo (Raja Kempo yang mengepalai wilayah kedaluan / Hamente). Demi menjaga keutuhan wilayahnya, Dalu mengutus sekelompok orang untuk mendiami suatu wilayah di perbatasan dengan dalu lain. Mereka akan berdiam cukup lama di tempat tersebut dan mulai membuka lahan garapan serta membuat mukang weru.Dari mukang weru lambat laun akan menjadi sebuah kampung yang utuh.  Catatan; dalam setiap pembukaan lahan baru di wilayah Kedaluan Kempo pada jaman dulu, harus atas persetujuan Dalu dan seorang Penggawa (pembantu Dalu) akan mengatur hal itu. 


4. Beo Weru (Kampung Baru)
Beo weru adalah proses modernisasi bentuk kampung dari Ata Kempo. Karena beberapa unsur yang menjadi dasar pertimbangan untuk mendirikan kampung mulai mengalami perubahan. Misalnya, pola kampung tidak lagi liup (linear) melainkan torok (berjejer) sepanjang jalan yang dibentuk atas dasar kepemilikan lahan. Compang yang menjadi mesba penyembahan mulai ditinggalkan dengan masuknya pengaruh agama Katolik dan Islam saat jaman penjajahan Belanda. Kemudian dengan hadirnya sekolah-sekolah, pola pikir semakin berubah mengikuti perkembangan jaman. Hal tersebut berdampak pada bentuk bangunan sekang, air minum bersih, sanitasi, sistem pertanian, maupun struktur sosial. Proses terjadinya Beo Weru antara lain sebagai berikut; 

1. Bisa berawal dari sebuah Mukang yang memiliki letak strategis daripada Beo Pu'u. Maka dalam keputusan bersama, warga kampung sepakat untuk pindah ke kampung yang baru dengan nama kampung yang baru tentunya. 

2. Beberapa alasan lain juga karena terjadinya nemba (wabah penyakit) yang menyerang penduduk kampung dan menyebabkan banyaknya kasus kematian yang tidak diketahui penyebabnya. Wabah penyakit tersebut semisal Malaria, karena kampung-kampung berada di tengah hutan dan belum adanya sanitasi yang memadai serta masih mengandalkan obat-obat tradisional. 

3. Namun dalam keyakinan orang tua di jaman dulu, kasus kematian tersebut karena pengaruh roh jahat yang meminta korban jiwa. Sehingga didorong oleh rasa takut tersebut mereka pun sepakat untuk memindahkan kampung ke tempat yang baru, yang tentunya masih dalam lingko Beo (hak ulayat kampung). 

5. Bangka (Bekas Kampung). 
Dengan adanya perpindahan Beo ke tempat baru, maka bekas kampung yang ditinggalkan dinamakan Bangka. Dari etimologi kata, bangka dapat diurai sebagai berikut; Wangka yang berarti awal atau mula-mula. Bate Kaeng yang berarti bekas ditempati. Wa Rengka yang berarti membawa rengka (ranting berduri) lambang penjaga pengaruh buruk kekuatan alam lain saat seorang bayi baru lahir. Pada sebuah Bangka, akan terlihat bekas kehidupan yang pernah ditempati atau diusahakan, semisal batu-batu yang menjadi landasan rumah, tiang-tiang rumah atau yang paling gampang untuk mengenali nya yaitu pohon kelapa dan pinang yang rimbun dan telah berumur tua. Sejauh ini belum pernah terjadi sebuah bangka, ditempati lagi oleh orang yang telah meninggalkannya. Karena diyakini, roh-roh jahat yang pernah mengganggu kehidupan masa lalu masih bersemayam disana. Atau mungkin karena letaknya yang tidak strategis untuk sebuah kemajuan di masa mendatang. Itulah sejarah Beo orang Kempo dan perkembangannya, sehingga sampai sekarang hubungan kekerabatan antara satu kampung dengan kampung yang lain masih dapat ditelusuri. Tidak hanya Beo yang berada di bekas Kedaluan Kempo tapi juga di beberapa kedaluan tetangga seperti, Mburak, Boleng, dan Lembajo (Labuan Bajo). Dalam pembahasan kali ini, belum disertai dengan pencantuman nama-nama kampung yang masuk dalam tiap kategori diatas. Masih menunggu pendalaman lebih lanjut oleh penulis.  Faktor Pendukung Beo Data Kempo Sebuah kampung bagi Ata Kempo (Orang Kempo) dibangun dengan sebuah sistem pendukung yang menjamin kelangsungan kehidupan pada kampung tersebut. Kampung tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak muncul begitu saja. Semua sistem pendukung tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang membentuk kehidupan itu sendiri. Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama, yaitu Sekang bate kaeng (rumah tempat tinggal), Natas bate labar (halaman tempat bermain), Wae bate tiku (mata air tempat menimba air), Salang bate lako (jalan yang pernah di setapak), Uma bate duat (kebun untuk b ekerja). Ada juga beberapa hal yang tak kalah penting keberadaannya, namun tidak sering dibicarakan. Faktor pendukung tersebut antara lain ; 

A. Sekang (Rumah) Sekang adalah 

tempat untuk kaeng (tinggal), melindungi diri dari kondisi alam maupun dari serangan binatang buas. Tempat latang tau toko (tidur / membaringkan kepala), terbenam dalam mimpi-mimpi, kesep ciang tana (sebelum esok kembali lagi). Rumah adalah tempat anak istri menunggu, tersenyum penuh harap apa yang didapat dari seorang laki-laki sejak pagi hari tinggalkan rumah. Rumah adalah tempat anak-anak bermain dan menunggu Ayah-Ibunya pulang dari bekerja. Rumah adalah tempat berbagi cerita, tertawa lepas dalam kebahagian yang terbatas alam, atau terisak bersama kebekuan alam. Rumah adalah tempat memulai hari dan mengakhiri hari, banyak kisah yang terbangun diantara ruang, cerita yang terekam dalam waktu dan jejak-jejak yang membekas dalam perjalanan hidup. Sekang adalah area privasi sebuah keluarga dalam satu kampung, para lewangn olo, congkorn musi (dari pintu gerbang sampai halaman belakang) adalah hak kepemilikan data ngara sekang (pemilik rumah) yang diakui oleh komong iko (seluruh penghuni kampung). Tidak ada seorang pun yang boleh melakukan aktivitas sembarangan tanpa ijin pemilik rumah. Juga tidak ada yang sesuka hati mengklaim kepemilikan atas rumah dan tanah yang ditempati oleh sebuah keluarga. Meski rumah adalah area privasi sebuah keluarga atau ata ngara sekang (pemilik rumah), namun tetap memperhitungkan kenyamanan dan keteraturan bersama. Lelo hae cupu / baling mai (sesuaikan diri dengan orang yang berada disekitar) terutama dalam hal kenyamanan lingkungan. Misalnya, tidak boleh seenaknya teriak dan tertawa hingga larut malam, jika tidak ada yang perlu dikerjakan. Pembangunan rumah dan pemanfaatan lahan disekitar rumah harus memperhatikan ketentuan umum, seperti ni'i (batas samping). Tidak boleh menanam pohon besar di dekat rumah orang yang berada di sebelah nya. Setiap orang mempunyai hak membangun rumahnya, di tanah yang menjadi miliknya, dengan model dan tipe apapun sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga dengan ritual dan 

4. Beo Weru  
upacara yang dilaksanakan ketika membangun rumah, menjadi urusan pemilik rumah. Jika pemilik rumah berbaik hati, pada acara titi sekang (memulai pembangunan rumah) atau tuke sekang (menempati rumah baru), ia akan mengundang orang untuk berdoa bersama atas pembangunan rumah tersebut. Di masa sekarang, sekang Data Kempo banyak yang telah berubah bentuk dan fungsinya. Sekang tenda eta (rumah panggung) dan sekang wunut / ri'i (rumah beratap ijuk / alang-alang) jarang ditemukan lagi. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah juga sebagai tempat melangsungkan berbagai upacara adat. Seperti lonto jaong Iname/Woe (pembicaraan adat antara pihak laki-laki dan perempuan) dalam acara pernikahan, lonto jaong coga seng werong Weta (pembicaraan adat dalam hal meminta bantuan pihak saudara perempuan) serta beberapa acara lain seperti syukuran, pesta maupun acara kelas (kenduri) dalam tata cara adat kematian. Dalam hubungan sosial masyarakat, sekang digunakan sebagai tempat untuk nempung (bermusyawarah) maupun tempat wali (membicarakan sesuatu) yang berkaitan dengan hal-hal penting. 

Ata Kempo bisanya jika ada yang ingin disampaikan atau dibicarakan dengan seseorang, tidak etis kalau hanya disampaikan di jalan atau saat ketemu dimana saja. Biasanya selalu buat janji terlebih dahulu untuk kaping sekang (bertamu ke rumah). Maupun jika kewit/siro (mengundang) orang, sebaiknya langsung ke rumah orang bersangkutan. Dalam pergaulan di masa sekarang, kadang banyak pende dise Empo, tuing dise Ame (hal-hal yang telah diajarkan oleh pendahulu atau Nenek Moyang) tidak dihiraukan lagi. Pada jaman dulu, segala sesuatu yang menyangkut acara atau apa saja yang dilakukan di rumah, harus meminta persetujuan Orang Tua. Karena rumah adalah milik orang tua, dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di dalamnya. Bahkan jika terjadi wendo (membawa lari anak gadis orang) seorang laki-laki tidak akan masuk ke rumah orang tua gadis tersebut. Begitu juga jika sudah sampai di rumah orang tua si pemuda, seorang perempuan tidak boleh masuk ke rumah sebelum ada persetujuan orang tua, atau paling tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga beberapa proses adat dapat segera dilakukan. Namun pada masa kini, beberapa hal diantaranya telah dilanggar, misalnya anak tak lagi meminta persetujuan orang tua, untuk melakukan apa saja didalamnya. Tiba-tiba saja, seorang gadis atau pemuda muncul di rumah, tanpa pemberitahuan kepada orang tua. Bahkan ada yang menjadikan rumah sebagai tempat untuk menyalurkan ekspresi ugal-ugalan untuk kesenangan mereka, tanpa menghiraukan keadaan orang tua. Semua hal tersebut terjadi karena kesalahan orang tua yang tak sempat mengajarkan anak-anaknya, apa arti dan makna sebuah sekang kaeng (rumah sebagai tempat tinggal). Dalam tradisi ahli waris atas sebuah rumah, meski tidak secara tertulis, Ata Kempo pada jaman dulu sangat menghormatinya. Yang berhak untuk mewariskan rumah orang tua adalah anak laki-laki yang bungsu. Selain itu, semua anak laki-laki yang telah menikah harap segera wa'u one mai sekang (segera membuat rumah sendiri) dan akan dibagikan bagian lahan untuk membangun rumah. Alasan pembagian warisan sekang kaeng kepada anak laki-laki bungsu adalah karena dia yang paling kecil dan selanjutnya kabang agu taing hang (menanggung kehidupan) orang tua di masa tuanya adalah anak bungsu tersebut. Pada dasarnya, Ata Kempo selalu menggambarkan atau mengkiaskan sesuatu dengan hal yang sederhana. Begitu pun pada sebuah rumah, istilah untuk menggantikan kata sekang adalah mbau / mbau haju (bayangan pohon), atau yang paling sederhana lagi adalah cewo (sarang; untuk binatang). Kiasan nama tersebut sebagai gambaran fungsi rumah pada jaman dulu sebagai tempat berteduh atau melindungi diri dari keadaan alam, serta sebagai tempat untuk tidur. Sedangkan cewo sendiri sebenarnya adalah gambaran untuk rumah yang keadaannya sangat berantakan atau tidak diurus. 

B. Natas (Halaman) 
Natas atau halaman adalah tempat bermain, bersosialisasi, dan bertemu baik ata ca Beo (sesama warga kampung), ata burut (orang yang lewat), maupun ata lambu (orang yang berkunjung). Natas adalah tempat latang tau labar (tempat bermain), sebagaimana halnya anak-anak, masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain. Proses belajar tingkat kedua dari seorang anak setelah landong adalah natas, dimana dia akan bertemu dan bermain dengan anak-anak lain dengan berbagai ruku (karakter). Tak akan pernah terlupakan selama hidupnya, tentang segala keceriaan bermain di natas, kemana pun seseorang pergi setelah dewasa nanti. Tidak hanya ata Koe (anak-anak), ata Reba (para pemuda) maupun ata Tua (orang dewasa) seringkali menggunakan natas sebagai tempat berkumpul sekedar nunduk-nunduk agu jambor (bercerita atau bersenda gurau). Natas sebagai tempat sosialisasi dan pengawasan setiap wa lusi weki (tingkah laku), holes weki (sikap) dan cengka jaong (tutur kata) diantara sesama warga kampung. Tidak ada yang luput dari pantauan sesama, oleh karena itu setiap orang akan lelo (melihat), senget (mendengar), rupa (memperhatikan), tui / tuing (memberitahu/mengajarkan) dan pande laing (berbuat) apa yang menjadi hal baik dari yang dipahaminya dari proses belajar tersebut. Sikap hormat-menghormati, tata kerama dan sopan santun selalu diterapkan, tidak hanya untuk cama ru (sesama warga kampung) tetapi juga dengan ata bana (orang lain) atau ata meka (tamu / pendatang). Atas prinsip tiba dia (terima dengan baik) layaknya cama ru. Dan berusaha untuk menghindari melakukan kesalahan dan neka pande cenger (jangan membuat malu) agu neka pande pa'u Beo (dan jangan menjatuhkan harga diri kampung). Jika kita menganggap pendatang seperti saudara kita, dengan demikian jika suatu saat kita berkunjung ke kampung lain, orang pun memperlakukan kita seperti saudaranya. Begitu juga jika kita menjadi pendatang, dia-dia holes weki, hese eta, lonto wa (harus bisa menyesuaikan diri, menjaga sikap, perilaku, tutur kata dan kebiasaan) di lingkungan baru. 

Agar tidak terjadi calang duing (kesalahpahaman), hendaklah kiranya neka mese nai (jangan sombong), neka toto na e (jangan menunjukan sesuatu secara berlebihan), agu neka cermemuk (jangan gegabah). Orang tua selalu berpesan, neka corok na bowo, ome ngae molorn mongkos (jangan sampai terjadi denda, jika masih bisa bersikap sewajarnya). Kadang, baik buruknya perilaku seseorang berpengaruh pada moral sebuah kampung.  Ca ata / cengata ge ata calang, wau bo data ca Beo (satu orang yang berbuat salah, akan ditanggung oleh satu kampung dampak buruknya). Oleh karena itu, setiap penyimpangan atau sekecil apapun calang (kesalahan) tidak akan dibiarkan berlarut menjadi hal besar. Hukuman terhadap sebuah kesalahan dapat berupa hukuman ringan yaitu ri'ing (teguran), dan hukuman berat yang menyebabkan mbotek (pengaduan) kepada Tua Golo (Kepala Kampung), yang berujung pada keputusan hukum adat bowo (denda). Denda biasanya berupa tuak, lipa (sarung), loce matang (tikar berlapis) atau berupa hewan seperti manuk (ayam), bembe (kambing), kaba (kerbau), tergantung kesalahan yang dibuat seseorang.

Bentuk pengawasan 
 lain juga adalah ondang (membiarkan), undang/siro (memanggil), indang (mengatur). Peranan warga kampung sangat berpengaruh dan melengkapi tuing data tua (ajaran orang tua) terhadap kepribadian seseorang. Beberapa tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat sekarang ini, seperti wajo tau / pulang tau (perkelahian), baka tau (pemukulan) maupun langu (mabuk-mabukkan) sebenarnya adalah kegagalan sistem pengawasan oleh Beo. Rasa momang cama tau (saling menyayangi), cau cama tau (saling merangkul) maupun ngara cama laing (saling memiliki) telah pudar dan menipis, sehingga calang cekoe (sedikit saja kesalahan) langsung baka roweng (menepuk dada), toto gelu (menunjukan kepalan) dan titi harat (mengacungkan benda tajam). Selain sebagai tempat bersosialisasi, natas juga sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara adat besar, seperti randang (pesta syukuran kampung / kebun), wagal (pesta pernikahan), ataupun tempat cumang cama laki (adu ketangkasan) dan toto ombeng (beradu karya seni) dalam pentas Tarian Caci (tarian tradisional Adat Manggarai). Pada jaman sekarang, karena adanya penataan kampung secara lebih modern, natas banyak dipakai sebagai jalan. Ada yang berstatus menjadi jalan negara, jalan daerah, jalan desa maupun jalan lingkungan. Tapi seperti kebanyakan kebiasaan masyarakat tradisional di negeri ini, masih banyak orang yang belum rela natasnya dijadikan fasilitas umum. Mengklaim bahwa natas atau jalan di depan rumahnya adalah masih milik nenek moyangnya. Hal tersebut, kadang menimbulkan bentrok dan mengganggu kenyamanan bersama. 

C. Compang 
(Mesba penyembahan di tengah kampung) Compang adalah pusat kehidupan sebuah Beo / kampung. Pada Beo Pu'u atau kampung tua yang polanya linear atau liup (mengelilingi), compang biasanya berada di tengah. Ini adalah sistem kepercayaan Ata Kempo atau Ata Manggarai secara keseluruhan, yaitu berpusat pada satu titik lalu menyebar ke arah luar. Sistem berpusat pada satu titik seperti ini juga terdapat pada sekang (rumah) ada siri reha (tiang tengah), juga dalam uma (kebun) ada lodok (pusat kebun).  Ke tiga bentuk keyakinan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga sangat sulit untuk menentukan, yang mana sebenarnya duluan ada, apakah sekang, beo atau uma ? (...akan di dalami lebih lanjut) Ketiga tempat tersebut memiliki fungsinya sama yaitu sebagai tempat penyembahan / pemujaan kepada roh dari tiap tempat tersebut Compang adalah tempat penyembahan kepada roh yang berada di tengah beo. Dalam ritual adat tertentu, seperti randang beo (syukuran kampung), akan dilaksanakan beberapa upacara adat pada sebuah compang. Misalnya menyembelih hewan kurban sebagai tanda persembahan kepada roh, agar sebuah kampung terbebas dari pengaruh jahat atau pembersihan kampung atas sesuatu malapetaka yang pernah terjadi. Struktur compang terdiri dari onggokan batu yang disusun melingkar dan terdapat sebuah batu yang ada di tengahnya, atau sebuah pohon yang tumbuh di tengahnya. Biasanya susunan batu tersebut disusun lebih rapi dan lebih tinggi dari keadaan tanah di sekitarnya. Hal ini untuk membedakan sebuah compang dengan onggokan batu biasa. Pada jaman sekarang, karena struktur beo berubah menjadi lebih modern, dengan jalan yang berada di tengah kampung, compang tak lagi berada di tengah rumah-rumah penduduk, kadang berada di sisi jalan. Untuk kampung-kampung pemekaran baru, compang jarang di temukan lagi. Bahkan setelah masuknya pengaruh ajaran agama, compang telah ditinggalkan dan tak dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai magis lagi. Hanya pada kampung-kampung tua saja, compang masih tertata rapi dan masih menjalankan ritual-ritual adat. Hal tersebut dikarenakan peran Tua Golo (kepala kampung) yang tidak lagi dijalankan semestinya, bahkan Tua Golo sebagai kepala kampung tidak memiliki kekuasaan lagi, karena sistem pemerintahan yang terlalu mendominasi. 

D. Pa'ang 
(Pintu Gerbang Kampung) Pa'ang adalah pintu gerbang sebuah kampung. Biasanya berupa tanah yang cukup lapang dan berada di bagian depan pintu masuk kampung. Pemilihan tempat yang lapang lebih kepada untuk penggunaan tempat tersebut yang melibatkan orang banyak. Dalam hubungan sosial antar warga kampung, pa'ang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan umum. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya berupa realisasi dari apa yang telah diputuskan dalam rapat sebelumnya dibawah kendali Tua Golo. Misalnya ketika ada rombongan tamu yang hendak mengunjungi kampung, maka seluruh warga kampung curu (menyambut) mereka di pa'ang. Berbagai tradisi dan ritual biasanya disertakan dalam acara penyambutan ini, seperti tuak curu (sebotol tuak untuk penyambutan). Acara seperti ini masih bertahan sampai sekarang, jika ada kunjungan dari pemerintah atau orang-orang yang datang untuk membantu perubahan pada kampung. Ndeng langat Pa'ang Dalam acara adat pernikahan, pa'ang digunakan sebagai tempat curu (penyambutan) rombongan Iname (pihak keluarga perempuan) yang datang padong (menghantar) anak gadisnya yang telah menikah ke kampung suaminya. Curu pengantin baru, tidak hanya dilakukan oleh Woe (pihak keluarga laki-laki), tetapi juga melibatkan komong iko (mulut sampai ekor; seluruh warga kampung). Inilah inti kebersamaan warga kampung dalam berbagi kebahagiaan, menyambut penghuni baru. Tebang Gong dan Gendang Gong dan gendang dibunyikan bertalu-talu, pertanda kampung tersebut sedang berbahagia menyambut gadis baru tersebut. Rangkaian tradisi pernikahan dalam curu di pa'ang pun dijalankan, mulai dari ris (memberi salam), pa'u tuak (memberi minum), dan beberapa tawar menawar uang pengganti lelah dalam perjalanan. Setelah semuanya selesai, kedua pengantin pun selek (didandani) untuk segera menuju rumah pengantin laki-laki yang diiringi seluruh warga kampung. Curu biasanya dilakukan saat sore menjelang malam, suatu kebiasaan atau karena kondisi jaman dulu yang rata-rata berjalan kaki, sehingga sore hari baru tiba. (..masih dipelajari) Pada beberapa ritual tertentu, pa'ang dipakai sebagai tempat untuk melakukan upacara taing hang helang (memberi makan arwah). Upacara ini adalah bagian dari upacara menghormati arwah orang yang meninggal dalam pesta kenduri. Tidak hanya dalam upacara menghormati arwah, taing hang helang juga dimaksudkan sebagai upacara tolak bala atau membuang sial. Seiring perkembangan jaman, upacara ini mungkin jarang dilakukan. Di masa sekarang, pada kampung-kampung tua, pa'ang banyak dipakai sebagai ruang rekreasi atau tempat berolahraga. Karena ukurannya cukup luas dan lapang, pada saat tak digunakan sebagai tempat upacara adat, pa'ang difungsikan sebagai lapangan olahraga. Misalnya lapangan bola voli atau lapangan bermain anak-anak. 

E. Wae Tiku (Mata Air) 

Wae tiku atau tempat air minum merupakan faktor pendukung yang vital untuk sebuah Beo. Bahkan jauh sebelum mendirikan kampung, dalam perencanaan untuk mendirikan sebuah kampung, wae tiku telah diperhitungkan. Perhitungannya sederhana, semua makhluk hidup membutuhkan air. Pada Beo Pu'u (kampung tua), wae tiku biasanya berupa mata wae (sumber mata air) langsung yang berada tidak jauh dari kampung. Baik yang debit airnya cukup besar yang dapat dibuatkan cancor (pancuran) maupun mata air yang debit airnya kecil yang dibuatkan bungki (kolam penampungan langsung pada mata air). Sementara untuk mata air yang letaknya cukup jauh, biasanya dibuatkan pipa dari bambu untuk disalurkan menuju kampung. Hal ini tergantung dari posisi mata air dengan posisi kampung. Mata air sangat dibutuhkan baik sebagai sumber air minum maupun untuk mandi dan cuci. Wae Pu'u (mata air) yang dipilih biasanya yang tidak mengering bila musim kemarau tiba. Oleh karena itu, hutan disekitar mata air menjadi milik bersama dan dijaga kelestariannya. Tapi pada masa sekarang, sangat sulit menjaga mata air karena banyaknya ternak yang tidak dibuatkan kandang, juga karena ada yang sengaja merusak hutan disekitar mata air. Maka tak heran, jika musim kemarau tiba, warga kampung akan kesulitan dengan air bersih. Wae tiku Data Kondas Pada jaman dulu, wae tiku diyakini memiliki roh penunggu mata air. Sehingga setiap kali hendak menimba air atau melewati wae tiku diharuskan untuk kepok (memanggil), dengan seruan; "cebong ?" (ada yang mandi ??), kalau ada jawaban: cebong !, hendaknya berhenti sejenak, sebelum orang tersebut mempersilahkan kita lewat. Kalaupun tidak ada jawaban, berhentilah sejenak baru melangkah lagi, agar roh penunggu mata air tersebut tidak marah, yang membuat kita cumang (sakit perut atau muntah-muntah).  Tempat pemandian biasanya dipisahkan antara Ata Rona (laki-laki) dan Ata Ingwai (perempuan). Seorang laki-laki ketika melewati tempat pemandian perempuan (tentunya didahului kepok; ''cebong'' dan telah dipersilahkan lewat, dia tidak boleh melihat ke arah perempuan apalagi mengajak bicara perempuan tersebut, karena hal itu dianggap sebagai pelanggaran. Sementara bagi perempuan, jika melewati tempat pemandian laki-laki, harus mengatakan neka rabo ce'e mai cekoen (permisi saya mau lewat). Pelanggaran terhadap hal tersebut, bisa mbotek (di adukan) kepada Tua Golo, dan kepada pelanggar dikenakan bowo (denda), berupa ayam atau tuak. Pada Beo weru (kampung pemekaran), kebanyakan sumber air minum bergantung pada kali atau sungai. Namun karena, kali atau sungai juga dipakai sebagai tempat pene kaba (tempat berendam kerbau), juga karena kemajuan teknologi di bidang pertanian terutama pemanfaatan pestisida, air sungai yang dijadikan sumber air minum menjadi tercemar. Sampai pada masa sekarang pun, air minum bersih masih menjadi kendala di bidang kesehatan masyarakat. Ditambah lagi dengan pemanfaatan lahan di sekitar mata air yang tidak sesuai peruntukannya. Hal ini akan sulit teratasi karena budaya bahwa tugas perempuanlah untuk menimba air, memasak dan mencuci. Sehingga kaum pria seolah tidak merasakan bagaimana sulitnya menimba, mencuci, dan lelahnya berebut air dengan perempuan lain di wae tiku. Meskipun upaya pemerintah sedikit memberi kelegaan sementara, namun terasa tidak membantu, karena masyarakat sendiri tidak disiapkan untuk hal tersebut. Belum lagi adanya politisasi proyek air minum bersih, sehingga keadaannya semakin parah.  Acara Wa'u Wae Dalam adat pernikahan, upacara wa'u wae (mandi pertama bagi pengantin baru), dilaksanakan di wae pu'u. Upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada pengantin baru, bahwa di situlah tempat dia menimba air untuk menunjang tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Upacara ini biasanya dilakukan oleh pihak keluarga pria, bisa juga disertakan dengan ibu-ibu lain di kampung tersebut. Sampai sekarang, upacara ini masih dilaksanakan. 

F. Uma / Galung (Kebun / Sawah) 
 Sebuah Beo atau kampung tidak terlepas dengan uma duat (kebun sebagai sumber makanan). Sebelum mengenal pertanian sawah, Ata Kempo mengolah pertanian lahan kering yang disebut uma. Lahan garapan baru atau uma rana biasanya melalui beberapa tahapan dalam pengerjaannya. Mulai dari nempung cama (kesepakatan bersama) dibawah kendali Tua Golo  (Kepala Kampung) dengan pertimbangan Penggawa (pembantu Dalu).  Setelah disepakati dalam nempung cama, ritual selanjutnya adalah tente lodok (menentukan titik pusat) dari lahan baru yang akan dijadikan uma rana nanti. Proses ini melibatkan seorang Mbeko (dukun) yang memahami kekuatan supranatural, untuk memastikan apakah Empo Tana (roh penjaga bumi) menyetujui pembukaan lahan baru tersebut, dan apa yang dimintanya sebagai tebusan. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka dilakukan pati (pembagian), poka puar (mulai dibersihkan), tapa uma (pembakaran lahan), hupi (pembersihan), pacek (menanam), kena (membuat pagar), rimu (menyiangi rumput) hingga ako (panen) selesai. Pembagian uma dimulai pada lodok (titik pusat), lalu keluar ke arah cicing (batas luar), menyerupai jaring laba-laba. Setiap bagian uma memiliki ni'i (batas) kiri kanannya, yang ditandai dengan lance (bambu yang dibelah). Meski ada juga sistem lain yaitu lapat (pembagian sejajar). Pembagian di lodok (titik pusat) berdasarkan jumlah Batu (klan), berapa Tua Batu (kepala klan), biasanya bagiannya Tua Golo lebih besar, lalu setiap Batu dibagi lagi ke setiap Kope (kepala keluarga) dengan bagian Tua Batu biasanya lebih besar.  Sebagai pusat dari uma, lodok dianggap sebagai tempat roh penjaga bumi bertahta, sehingga terdapat banyak upacara yang dilakukan di lodok, selama kebun tersebut masih digarap. Seperti halnya Sekang (rumah) memiliki Siri reha (tiang tengah), pada Beo (kampung) memiliki Comapang (mesba penyembahan) demikian pun pada uma (kebun) memiliki Lodok. Fungsi dan tujuan dari ritual yang dilakukan di lodok adalah untuk memuja sang Empo ngara tana (roh penjaga bumi), agar diberikan hasil panen yang berlimpah. Uma masa (Kebun lahan kering) Uma biasanya ditanami tanaman pangan seperti mawo golo (padi lahan kering), latung (jagung), tete wogor (ubi kayu), tete wase (ubi jalar), teko (ubi talas), ngang, tese, juga kacang-kacangan seperti wue (kacang panjang), leba (kecapir), celok, juga sayur dan buah-buahan seperti ndisi (labu siam), timung (ketimun), kelas (sejenis labu), rewas (sejenis labu), kaung (pepaya), muku (pisang) dll. Kesemua tanaman tersebut merupakan bahan pangan yang menunjang kelangsungan hidup penduduk kampung. Jika musim panen hasilnya berlimpah akan dilakukan randang (syukuran) dengan berbagai kegiatan di dalamnya. Setelah selesai panen pada ladang berpindah, uma rana lalu ditinggalkan dan membuka lahan baru lagi untuk digarap. Dulu sistem uma Data Kempo, selalu berpindah-pindah dan hanya sekali digarap. Namun karena dirasa suatu uma adalah lahan subur, maka uma tersebut digarap dua kali yang disebut uma lokang. Ketika dirasa cukup subur, uma rana yang telah dipanen, di cua (dibersihkan) lagi untuk mempersiapkan musim tanam berikutnya. Setelah adanya perubahan pola pikir, dan pembukaan lahan baru yang terasa semakin berat, kemudian dikenalnya sistem kepemilikan lahan setelah jaman kemerdekaan, penduduk kampung mulai menanami uma dengan tanaman berumur panjang seperti kupi (kopi) dan welu (kemiri). Dan belakangan tanaman perdagangan lain pun seperti cengkeh, coklat, vanili, merica, kelapa, serta pohon buah-buahan seperti nangka, mangga, rambutan, alpukat dll, mulai ditanam dan diusahakan. Galung (sawah) Setelah jaman kemerdekaan, sistem pertanian sawah mulai diperkenalkan. Karena sebelumnya, hanya pertanian lahan kering yang biasa diusahakan, sehingga pembagian bajak (lahan basah) juga mengikuti pembagian lahan kering. Namun tidak banyak sawah yang dibagi dengan sistem lodok, kebanyakan memakai sistem lapat (berjajar). Disamping itu, kebanyakan sawah dengan pengairan reguler baru muncul belakangan, itupun atas usaha sendiri. Karena di awal pengenalan sistem pertanian sawah, masih banyak orang yang ragu akan keberhasilannya, sehingga tetap bertahan dengan pertanian lahan kering. Hal ini karena Ata Kempo dulu meyakini bahwa bajak (rawa-rawa / lahan basah) merupakan tanah rinting (dihuni oleh makhluk halus atau jin). Mengganggu mereka berarti mencari mati. Padahal kalau ditelusuri, bajak merupakan sarang nyamuk, sehingga bisa terserang malaria dan menyebabkan kematian. Dalam adat pernikahan, pasangan suami istri yang telah memulai kehidupan rumah tangga, akan dibagikan bagian lahan sebagai warisan orang tuanya. Berupa uma masa (lahan kering) dan galung (sawah). Uma duat tersebut sebagai tempat mereka mengusahakan sesuatu untuk membangun keluarganya. Tidak hanya uma dan galung pekarangan lain seperti po'ong (kebun sayur-sayuran) pun, dibagi sesuai dengan pembagian adil dari orang tua, serta diketahui oleh saudara-saudaranya. 

G. Salang (Jalan) Salang watu (jalan bebatuan) 
Salang atau jalan adalah faktor penting untuk menghubungkan tempat yang satu dengan yang lainnya. Salang menghubungkan kampung satu dengan kampung lain, salang menghubungkan Beo dan uma duat, menghubungkan Sekang dan Wae tiku, dll. Walau fungsi salang hanyalah tempat untuk berjalan untuk menuju suatu tempat, namun keberadaannya tak terlepas dari kehidupan penduduk kampung.  Meski kondisinya berupa salang lako wai (setapak), salang watu pongkor (jalan dengan tebaran bebatuan), salang pumpuk (jalan diatas rumput), atau salang pitak (jalan berlumpur yang pekat). Namun salang menjadi saksi bisu setiap pergerakan manusia. Salang mengajarkan bagaimana alam diperlakukan, memberitahukan siapa kita diantara rimbunnya pepohonan, siapa kita diantara setiap makhluk alam yang kita temui tiap hari.  Dalam kehidupan biasa, salang adalah bagian alam luar yang perlu untuk kita  menyesuaikan diri dengan keadaannya. Setiap orang bebas untuk melewatinya, sekali atau seringkali, sebentar atau lama. Namun dibalik kebebasan tersebut terselip aturan yang tak pernah tertulis dengan bahasa manusia. Kita hanya perlu lelo (melihat), senget (mendengar), duing (merasakan) dan nuing (meresapi) setiap lekuk liku jalan tersebut. Salang bukanlah tempat untuk mengekspresikan sisi liar kehidupan manusia, tetapi sebaliknya salang adalah sisi liar alam yang perlu kita pahami. Salang lako wai (jalan setapak) Bagi Ata Kempo pada jaman dulu, salang adalah milik bersama, baik seluas padang rumput maupun hanya melewati celah bebatuan. Baik yang disepakati bersama di tempat yang jadi milik umum maupun inisiatif sendiri di tanah yang jadi miliknya. Berbagi dan menempatkan diri pada keadaan orang lain, itulah alasan sederhananya. Jika sebuah salang melewati tanah, uma, galung, racap sekang yang menjadi milik orang lain, kita harus menjaga sikap, prilaku, dan kata-kata. Jika ingin memakai salang yang dibuat atas inisiatif sendiri pemilik tanah, harus atas kesepakatan pemilik tanah tersebut. Begitu pun jika membuat salang yang melewati tanah yang menjadi milik orang, harus dibicarakan dulu sebelumnya. Hingga semuanya tak ada yang keberatan, tidak ada penghadangan, tidak ada konflik, dan menelusuri jalan terasa santai. G. Boa (Kuburan) Semua manusia pasti mati, hanya saja waktu dan tempatnya berbeda tiap orang, dan kapan saatnya itu tiba, itulah yang menjadi misteri. Sadar akan hal tersebut, dalam penataan Beo data Kempo, dibuatkan sebuah tempat pemakaman atau kuburan yang di sebut Boa. Jika Beo adalah tempat yang didiami oleh orang yang masih hidup, maka tempat yang didiami oleh arwah orang mati dinamakan Boa. Boa adalah tempat dimana seseorang yang telah mati di boak (dikuburkan), dan di sanalah jasadnya dikuburkan dan wakar (arwahnya) diyakini masih menjaga sanak saudaranya yang masih hidup. Meski di satu sisi, Ata Kempo percaya bahwa kematian seseorang terjadi karena benta Le Muri (telah dipanggil oleh Sang Pencipta / tuhan). Letak Boa biasanya tidak boleh berada di sebelah atas beo, karena beo berada di lereng maka boa harus berada di bagian bawahnya lagi. Atau jika beo berada di par leso (arah matahari terbit) sebelah timur, maka boa berada di nucep (arah matahari terbenam) sebelah barat. Hubungan Kekerabatan Dan Klasifikasi Masyarakat Data Kempo - Manggarai Barat Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Kempo, sangatlah kental dan masih terus dipertahankan hingga kini. Hubungan kekerabatan, tidak saja mengikat seseorang dengan orang lain atas dasar garis keturunan dan perkawinan tetapi juga mencakup wilayah dan tempat tinggal. Hubungan kekerabatan itu dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu; 

 A. Hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah / genealogi 

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Kempo mempunyai keterkaitan dengan konsep keyakinan dan struktur fisik seperti Sekang (rumah), Beo (kampung), Compang (mesbah penyembahan), dan lodok uma (pusat kebun). Hubungan kekeluargaan dimulai dari lingkup terkecil, hingga yang terbesar. Tata urutan klasifikasi hubungan tersebut sebagai berikut; 

1. Ata / ca ata / cengata (Orang / Seorang) 
Orang atau perseorangan dalam bahasa Kempo disebut ata / ca ata / cengata (satu orang). Penyebutan untuk seseorang yang biasa digunakan dalam masyarakat Kempo adalah cengata (seseorang). Cengata adalah pribadi tunggal yang bebas dari ikatan apapun. Cengata bisa Ata Rona (laki-laki), Ata Inewai / Ingwai (perempuan), Ata Koe (anak kecil), Ata Reba / Molas (Pemuda / Gadis), dan Ata Tua (orang tua). 

2. Kope / Ca kope / Kilo (Kepala Keluarga dan Keluarga) 

Kope dalam bahasa Kempo diartikan sebagai parang atau pedang. Kope adalah lambang rani (keberanian), lambang gesing (kekuatan / keperkasaan), lambang guri / gejur (kesanggupan / tanggungjawab) dan lambang laki (kejantanan). Dalam adat istiadat dan budaya, kope melambangkan tanggungjawab dan kesanggupan seorang laki-laki untuk kawe hang (mencari nafkah) dan kabang (memberi makan) kepada wina agu mantar (istri dan anak-anaknya). Seseorang laki-laki yang telah menikah atau telah berkeluarga, dan telah menyelesaikan segala urusannya mengenai tata cara perkawinan adat Kempo, baik dengan pihak Iname (pihak keluarga perempuan), dengan Ase-Kae (sanak-saudara), maupun dengan komong-iko (warga kampung) akan dihitung sebagai ca kope (laki-laki yang telah menjadi kepala keluarga). Dalam struktur masyarakat adat, ca kope dapat berarti sebuah keluarga. Keluarga kecil yang terdiri dari Rona / Ame (suami / ayah), Wina / Ine (Istri / Ibu), mantar (anak). Anak-anak dalam hal ini, hanya.  Ca Ame / Ame (Satu Ayah) a sebatas anak-anak yang belum menikah. Dan ketika telah menikah, bagi anak laki-laki akan di hitung sebagi ca kope lagi, dan bagi anak perempuan, akan jadi bagian kope dari suaminya. Sementara bagi pasangan suami / istri, batas waktu sebagai ca kope akan berakhir, ketika sudah lanjut usia dan tidak dapat bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Sebagai penggantinya adalah anak laki-laki bungsu atau anak laki-laki yang menanggung hidup masa tuanya. Untuk urusan rumahtangga keluar, dalam ruang lingkup suatu kelompok, ca kope adalah keluarga utuh yang memiliki hak untuk mengusahakan sesuatu demi kelangsungan hidup anggotanya. Mencakup kebutuhan kabang weki / hang (pangan), tadu weki / ne'eng / entau (pakaiyan), mbau /bone weki / sekang kaeng (rumah untuk tempat tinggal), ditambah pendidikan di jaman sekarang.Sebagai makhluk sosial, sebagian hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan orang lain. Kope memiliki beban tanggungjawab kepada Batu (klan) dan Beo (kampung), sebagai anggota kelompok. Sementara untuk urusan rumahtangga ke dalam, yaitu melanjutkan keturunan, ca kope menjadi lebih privasi lagi yaitu kilo. Kilo adalah hubungan sebagai suami istri yang diikat dalam tali perkawinan atas dasar rasa cinta, kasih sayang, kerelaan, pengabdian dan pengorbanan yang hanya dipisahkan oleh maut. Sebagai catatan; dalam tradisi adat perkawinan lama, Ata Kempo tidak mengenal cengga (cerai), hanya ada orang tertentu yang wina sua / telu (poligami). Jika terjadi hal demikian, laki-laki tersebut akan dihitung kope sua (dua / dobel ) tanggung jawab. Kope sua juga terjadi pada laki-laki yang kawe kilo weru (menikah lagi), dan masih bertanggungjawab atas pernikahannya yang pertama.

3.  Ca Ame / Ame (Satu Ayah)  

Garis keturunan Data Kempo atau Data Manggarai umumnya, adalah patrilinear, yaitu mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki / ayah. Ca Ame adalah lingkup sosial kecil yang terdiri dari ayah dan anak-anaknya, baik yang telah na'ang weki (sudah menikah) maupun yang belum. Garis hirarki keluarga dipimpin oleh Ame (Ayah) lalu ngaso (anak sulung) dan seterusnya hingga ceko (anak bungsu). Meski anak laki-laki telah memiliki hae kilo (istri) dan membentuk keluarga baru, namun hubungan vertikal Ame-Anak (Ayah-Anak) dan hubungan horisontal Ase-Kae (Kakak beradik) tidak akan terpisahkan. Bahkan hal tersebut adalah suatu kepatutan dan keteladanan untuk terus saling rangkom (menyatukan) anggota keluarga. Ame sebagai pemimpin keluarga bertanggungjawab atas kerukunan seluruh anggota keluarga dan segala urusannya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban Orang Tua dihitung sebagai hak setiap anak yaitu perlakuan yang sama atas kasih sayang orang tua, dan pembagian yang adil atas warisan orang tua. Jika Ayah telah tiada, tanggungjawab tersebut jatuh pada mantar ngaso (anak sulung) dengan pertimbangan Ine (Ibu) dan diketahui Ase Kae (kerabat lain) yang masih punya hubungan dekat. 

4. Ca Empo / Empo (Satu Kakek) 

Ca Empo adalah garis keturunan dari Kakek yang sama. Jika kehidupan Ca Ame bisa tetap dipertahankan dari bike (perpecahan) karena adanya lewang tau (percecokan) dan pulang tau (pertengkaran) maka ruang lingkup keluarga menjadi lebih luas. Ca Empo terdiri dari beberapa Ame, lalu dibagi lagi dalam tiap Kope, kemudian tiap Kope dibagi atas jumlah Mantar dan di tingkat mantar mereka disebut empo (cucu). Garis hirarki keluarga dipimpin oleh seorang Empo Ata Rona (Kakek).  Dalam hal mengambil keputusan, yang berkaitan dengan anggotanya, pertimbangan sang Kakek sangat diperhatikan. Kakek berkuasa menunjuk atau memberi tugas kepada setiap Ame dalam pelaksanaan tiap keputusan, baik untuk urusan ke dalam maupun urusan keluar. Dan setelah memberi tugas, seorang Kakek akan menerima laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas tersebut. Hal inilah yang membuat mereka sering disebut ata lami loce (orang yang duduk menunggu di atas bentangan tikar) atau ata gereng wali (orang yang menunggu laporan).Jika Empo sudah tidak ada atau telah meninggal, peran tersebut akan digantikan oleh Ame Ngaso (Ayah Sulung). 
5. Ca Batu / Batu (Klan) Ca Batu adalah hubungan kekerabatan yang lebih luas, terdiri dari keturunan dari beberapa Empo (Kakek), dari tiap Empo di bagi dalam tiap Ame (Ayah), dari Ame dibagi lagi dalam tiap Kope (Kepala Keluarga).Ca Batu lebih bersifat keluarga yang luas yang masih ada hubungan kekeluargaan dari keturunan yang sama.  Batu dapat terbentuk hanya dari Ca Empo (satu Kakek), yang berhasil menjaga hubungan baik dan jalinan kekeluargaan yang erat. Batu dipimpin oleh Tua Batu (kepala klan) yaitu seorang Empo Ata Rona (Kakek), atau seorang Ame Ngaso (Ayah Sulung) yang memiliki pengetahuan lebih tentang prosesi adat serta aturan kelengkapannya. Tua Batu bertanggungjawab atas segala urusan anggota keluarga, baik menyangkut urusan perkawinan, kematian, juga memastikan Ame melaksanakan tugas pembagian warisan kepada tiap anaknya. Untuk urusan keluar, yang berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat Tua Batu menjadi orang kepercayaan untuk mewakili setiap Batu dalam perumusan dan pengambilan kesepakatan yang dibuat oleh Tua Golo (Kepala Kampung). Tidak hanya Ca Empo, Batu juga dapat terbentuk dari gabungan beberapa Empo yang masih memiliki hubungan keluarga di tingkat Empo Tae (Kakek Buyut). Atas kesepakatan bersama dan karena banyak kesamaan pemahaman dan pandangan, mereka bergabung untuk menjadi Ca Batu.Selain itu, anggota batu juga kadang bukan berasal dari satu garis keturunan yang sama, tetapi orang dari Empo berbeda yang tegi hese cama (meminta untuk bergabung). Proses terjadinya hal demikian, bisa karena diminta oleh orang lain, bisa juga karena nuhung / nongkong (dipungut; semacam di adopsi) karena rasa belaskasihan dari Tua Batu bagi orang yang tidak memiliki keluarga dekat lagi. Atau bisa juga karena pada jaman dulu masih nggali ata (kekurangan orang) sebagai anggota klan, latang campe (untuk membantu) memudahkan berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan. 

B. Hubungan kekerabatan berdasarkan wilayah dan tempat tinggal. 

1. Ca Sekang 
(Satu Rumah) Sekang Data Kempo pada jaman dulu, tidak hanya terdiri dari Ca Kilo (satu keluarga), melainkan beberapa keluarga, baik yang masih memiliki hubungan Ame-Anak dari satu Kakek, juga ditambah lagi dengan ata tegi kaeng (orang yang menumpang). Orang yang menumpang di rumah keluarga lain, biasanya ata lalo (orang yang tidak lagi memiliki keluarga yang lebih dekat), atau orang yang tidak sanggup untuk membangun rumah sendiri, sehingga meminta bantuan kepada orang lain untuk menumpang sementara. Namun karena sudah lama kaeng cama (tinggal bersama) dan terjalin hubungan yang sangat baik, orang yang tinggal menumpang kemudian dianggap sebagai Ase-Kae (Saudara) dan menjadi bagian dari keluarga dalam Ca Batu (satu klan). 

2. Ca Warang 
(Satu kesepakatan) Warang adalah kewajiban dari setiap anggota untuk menyumbangkan sejumlah barang atau barang pengganti yaitu berupa uang, sebagai modal untuk melaksanakan sebuah acara adat. Misalnya warang laki (pengumpulan uang untuk keperluan nikah), warang mata (pengumpulan uang untuk keperluan acara kelas (kenduri).  Warang dibebankan kepada tiap Kope yang menjadi anggota dari Ca Batu (satu klan). Namun karena adanya minak tawa (hubungan baik) dengan orang yang berasal dari lain Empo (Kakek), bahkan dari lain Beo (kampung), orang tersebut juga dibebankan warang. Hubungan baik tersebut bisa karena letak uma (ladang) yang berdekatan, atau juga karena Hae Reba (pertemanan). Dalam hal ini biasanya hubungan baik tersebut hanya sebatas warang saja, sementara untuk hal-hal lain, seseorang tersebut tidak ikut campur, sehingga orang tersebut disebut kope kilat (keluarga sementara). 

3. Ca / Cama Beo
 (Satu Kampung) Hubungan yang lebih luas dari orang Kempo adalah Ca Beo. Di tingkat ini, sistem aturan diterapkan dan berlaku sama neteng weki (setiap orang). Ca Beo dipimpin oleh seorang Tua Golo (Kepala kampung), sehingga Ca Beo kadang juga disebut Ca Golo. Tua Golo memiliki kekuasaan tertinggi, yang diwarisi secara turun temurun dari Empo (Kakek), ke Ame (Ayah) lalu ke Mantar (Anak), dan seterusnya kepada keturunan yang sama. Biasanya yang dipercaya jadi Tua Golo dari keturunannya adalah Mantar Ngaso (Anak sulung) atau Ngaso ata Rona (anak laki-laki yang sulung). Jika anak laki-laki belum cukup umur ata tidak ada anak laki-laki dari tingkat yang sama, maka yang ditunjuk adalah Ame Koe / Mengkoe (Paman).  Delegasi wewenang dari Tua Golo adalah Tua Batu, dari Tua Batu lalu ke Tua Kilo / Kope. Jika ada sesuatu masalah yang dihadapi oleh ca kope (kepala keluarga) dalam satu kampung, jalur penyelesaiannya akan disampaikan terlebih dahulu kepada Tua Batu, jika bisa diselesaikan oleh Tua Batu, maka tidak akan berlanjut. Tapi jika tidak dapat diselesaikan oleh Tua Batu, maka bersama Tua Batu, masalah tersebut akan mbotek (di adukan) ke Tua Golo. Maka Tua Golo siro (mengundang) semua Tua Batu, untuk membicarakan dan menyelesaikannya. Begitu juga jika ada pelanggaran yang dilakukan seseorang, maka pertama kali dilaporkan ke Tua Batu. Lalu Tua Batu memanggil anggota keluarganya untuk menasihati dan menjatuhkan sanksi atas pelanggarannya, jika tidak dapat diselesaikan di Tua Batu baru di adukan ke Tua Golo.  Begitu pun dalam penyelesaian masalah tanah, batas tanah, klaim kepemilikan dan pemanfaatan atas tanah. Oleh karena itu, seorang Tua Golo harus memiliki pengetahuan yang cukup atas sejarah lingko (hak ulayat kampung) dan setiap batas tanah yang termasuk dalam wilayah yang dipimpinnya. Pengetahuan tersebut biasanya didapat secara turun-temurun, atau berdasarkan pengalaman. Untuk urusan antar sesama warga kampung, Tua Golo berhak menentukan apa yang baik untuk dilakukan, dengan atau tanpa pertimbangan Tua Batu. Biasanya untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan dan keselamatan warga Beo. Dalam urusan suka duka, Tua Golo memastikan setiap Tua Batu untuk saling membantu untuk meringankan dan melancarkan setiap urusan yang dihadapi oleh ca kope (seorang warga) atau sebuah Batu. Dalam acara pernikahan, warga Beo dilibatkan misalnya curu ata weru (menyambut pengantin baru) yang laksanakan di Pa'ang, tiba le Golo / Beo (disambut oleh seluruh warga Beo / Kampung) dan ada kewajiban warang kampong (sumbangan dari tiap Kope) yang telah ditetapkan besarnya. Begitu juga dalam urusan kematian, seluruh warga kampung ikut berduka dan membantu melancarkan segala urusan, serta ikut menyumbangkan warang kampong.  Tidak hanya untuk urusan ke dalam, Tua Golo juga bertanggungjawab atas Ata ca Beo (warga sekampung). Baik mengenai pembelaan, pelurusan dan penyelesaian konflik dengan Ata Beo bana (warga kampung lain). Begitu pun jika ada warga Beo yang melakukan pelanggaran di kampung lain, maka pengaduannya akan diterima oleh Tua Golo. Urusan Tua Golo juga menyangkut rang (harga diri) kampung, sehingga jika ada yang mengusik ketenangan dan ketentraman kampung, maka Tua Golo berhak mengambil tindakan tegas. Tidak hanya mengenai urusan sebuah masalah, dalam urusan duka atau kematian di Beo tetangga, Tua Golo juga akan menyampaikan ucapan duka dan menyumbang, yang dibebankan ke setiap Batu. 

 C. Hubungan Kekerabatan Karena Ikatan Perkawinan Ikatan perkawinan sangat penting artinya bagi hubungan kekerabatan diantara lapisan sosial masyarakat. Hubungan yang dibangun bisa sangat lama dan mengikat semua orang-orang yang memiliki keterkaitan hubungan keluarga. Karena pada dasarnya, perkawinan adat orang Kempo dan orang Manggarai umumnya, mengikat hubungan dengan keluarga luas. Tidak hanya sebatas orang tua pihak laki-laki atau perempuan, tetapi juga sanak keluarga dari kedua belah pihak. 

1. Ine-ame / Iname (Pihak keluarga perempuan) Iname adalah orang tua atau keluarga dari pihak perempuan dalam perkawinan adat Data Kempo. Iname meliputi keluarga Ca Ame juga Ca Batu dari orang tua perempuan.Dalam perkawinan adat Data Kempo, Iname sangat dihormati dan dihargai karena merekalah ata ngara mantar (yang melahirkan dan membesarkan si gadis). Sehingga balas jasa pengasuhan atau pengganti air susu ibu, dalam perkawinan adat, pihak Iname membebankan paca (belis / mahar / mas kawin) kepada pihak laki-laki. Dalam adat Data Kempo, sejumlah paca atau mas kawin bukanlah harga seorang wanita, tetapi balas jasa kepada orang tua, karena jaong adak (pembicaraan adat) kembali kepada Weta - Nara (Saudara perempuan dan saudara laki-laki). Dalam hal ini, Weta adalah ibu dari si laki-laki, dan Nara adalah Ayah dari si perempuan.Sehingga paca tidak dipatok atau dipaksakan jumlahnya, capa ngance kawe dise Weta (seberapa kemampuan si Weta). Meskipun dalam renta (besaran nilai atau angka yang harus dilunasi) oleh Kraeng Dading (pihak Iname), tidaklah benar-benar harus dilunaskan oleh si Weta (pihak Laki-laki). Berbagai pertimbangan di dalamnya, sehingga untuk menutupi kekurangan tersebut, hubungan karena ikatan perkawinan tersebut dinamakan wae tiku tedeng (seperti jalan ke tempat mata air yang tidak mengering), bukanlah salang tuak (jalan ke tempat penyadapan nira, yang akan dilepas jika airnya telah mengering). 

2.Maka pengalihan paca yang belum tuntas tadi, akan ditagih dalam werong laki nara (sejumlah nilai / angka yang dibebankan kepada Weta (pihak laki-laki untuk upacara pernikahan saudara laki-laki di pihak Iname) dan werong mata (sejumlah nilai / angka yang dibebankan kepada Weta dalam hal mengurusi upacara kematian di pihak Iname). Manakala dalam jaong adak Weta-Nara, pihak Weta (keluarga laki-laki) tidak berkordinasi baik atau berkelit-kelit mengenai setiap liku adat, pihak Iname akan mempertegas paca menjadi paka / paka manga(keharusan / harus ada). Keharusan yang dimaksud adalah akumulasi kekurangan paca lalu dikonversi dalam hitungan baru, kemudian diharuskan untuk dipenuhi oleh pihak laki-laki agar pihak Iname tidak merugi atas acara yang terlaksana. Tapi jika pihak laki-laki tidak juga menyanggupinya, pihak Iname akan menanggung sendiri kerugian tersebut, itu menjadi bagian suka duka wai anak (menikahkan anak). Untuk memperdalam soal paca akan dibahas di topik baru.

3. Iname Rabeng (Kakek-Nenek dari pihak perempuan) Ikatan perkawinan yang terjadi, juga mengikat pihak keluarga Kakek-Nenek dari pihak perempuan. Mereka akan disebut Iname rabeng (Ayah-Ibu dari Ibu si pengantin perempuan / Kakek-Nenek dari pihak Ibu si gadis). Meski dalam pembicaraan adat, Iname rabeng tidak secara langsung berhadapan dengan pihak laki-laki, tetapi melalui perantara Iname. Adapun keikutsertaan pihak laki-laki kepada Iname rabeng dinamakan icing kandi (ikut membantu). Ini juga merupakan penjabaran dari paca sebagai wae tiku tedeng, yaitu pihak laki-laki membantu Iname atas sejumlah nilai yang dibebankan oleh Iname rabeng. Hubungan kekeluargaan atas dasar ikatan perkawinan, tidak ada batasan resmi mengenai kapan berakhirnya hubungan tersebut. Jika terjadi tungku (perkawinan silang) maka hubungan tersebut akan diperpanjang lagi. Namun jika pihak Iname naik ke tingkat Iname rabeng, tetapi tidak terjadi tungku, dan ketika Iname rabeng masih membebankan Werong, tetapi Woe tidak merespon lagi, itu pertanda bahwa hubungan tersebut akan segera berakhir. 

4. Woe (Pihak laki-laki) Woe adalah pihak laki-laki / keluarga laki-laki dalam perkawinan adat Data Kempo. Woe adalah ata latang tau kawe (pihak yang mencari / membayar) sejumlah nilai yang diminta oleh Iname. Dalam hal ini sebagai Weta (Saudara perempuan dari ayah si gadis), sesek sapu selek kope (mempersiapkan segala sesuatu), wa langkas agu tenteng mese (membawa sejumlah barang dan sejumlah nilai) yang telah disepakatikaping sekang de Nara (menuju rumah saudara laki-laki, ayah si gadis). Woe adalah ata lemba tuak (pihak yang dimintai bantuan), Woe adalah ata campe (pihak yang membantu) segala urusan dan pekerjaan pihak Iname, sebagai penjabaran dari wae tiku tedeng. Dalam hal perkawinan saudara dari gadis (saudara laki-laki dari ibu), woe akan dimintai Werong laki.Sedangkan dalam hal urusan kematian atau kelas (kenduri), Woe akan dibebankan Werong mata. Semua hal tersebut adalah penjabaran dari wae tiku tedeng, juga merupakan ikatan kekeluargaan Ame - Anak.Woe adalah pihak yang biling (membayar) sejumlah pedeng (pemberian) Iname, berupa loce (tikar), tuak/mbako/cepa (tuak/tembakau/sirih pinang), manuk (ayam). 

5. Bangkong Bangkong adalah pihak laki-laki/suami dari saudara perempuan Ayah. Bangkong adalah Woe yang telah naik satu tingkat diatas Woe.Dalam hal dimintai bantuan atau Werong, Bangkong akan menghitungnya sebagai Werong Wote. Keterlibatan Bangkong dalam segala urusan di pihak Iname, tidak sepenuhnya sama dengan Woe. Pihak Iname juga memaklumi dan menyerahkan sepenuhnya atas ketulusan Bangkong dalam membantu. Seperti pada Iname Rabeng, hubungan kekeluargaan akan berakhir jika, tulak salang (memperbaharui ikatan berdasarkan perkawinan nenek) tidak direspon oleh Iname. Atau ketika pihak Iname membebankan Werong, tetapi Bangkong tidak menerimanya lagi, itu pertanda hubungan tersebut akan segera berakhir. Dalam perkawinan adat data Kempo, sebuah keluarga atau kope bisa menjadi salah satu atau bergantian menduduki posisi tersebut. Artinya, jika disatu sisi seseorang / sebuah keluarga menjadi Iname, maka di sisi lain dia juga adalah Woe dari orang lain, begitu juga Iname rabeng maupun Bangkong. Itulah yang menyebabkan dalam pembicaraan adat, tidak ada paksaan atau keharusan untuk menggenapi segala bentuk tanggungjawab dalam hal paca maupun werong. Cama laing (keikutsertaan), manga ranga (kehadiran) maupun reweng (komunikasi) sangatlah penting artinya daripada sejumlah nilai barang atau nominal dari angka-angka.
    email this       edit

0 Komentar:

Posting Komentar