Rabu, 27 Desember 2017

Published 07.53.00 by with 0 comment

HUMAN TRAFFICKING

Oleh : Don Corleone

Setiap Negara didirikan untuk mewujudkan kesejahteraan umum  atau kebaikan warganya. Itulah tujuannya. Demikian pula halnya dengan Indonesia. “Melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”,  merupakan salah satu dari empat tujuan berdirinya negara Republik Indonesia
Images; by Google.com
Diakui secara universal bahwa manusia (karena martabat luhurnya), tidak dapat dijadikan objek, tidak boleh dieksploitasi dan dimanipulasi untuk tujuan apapun. Tata tertib atau norma hidup (hukum) bersama masyarakat manusia, mulai dari tingkat lokal sampai ke tingkat universal, ditetapkan dan diberlakukan atas dasar penghargaan dan perlidungan terhadap manusia. Begitu banyak deklarasi, protokol, dan konvenan internasional ditetapkan dan disepakati demi tujuan yang satu dan sama: penghargaan dan perlindungan terhadap keluhuran martabat manusia.
Indonesia sebagai suatu negara merdeka, menjadikan penghargaan dan perlindungan terhadap martabat luhur manusia, tujuan serta dasar keberadaannya. Baik pada rumusan tujuan negara maupu dalam pancasila, dasar negara, ditegaskan komitmen bangsa dan negara ini untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Pada kenyataan rumusan normatif tersebut lebih merupakan sebuah ideal yang ingin dicapai, dan bukan deskripsi tentang fakta real bahwa martabat manusia sudah sungguh dihargai dan dilindungi di negara ini.

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburukdari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya pedagangan orang diberbagai negara termasuk di Indonesia dan berbagai negara-negara berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional.

Dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang disebutkan bahwa:
“Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau member bayaran atau manfaat, sehingga mempeoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi”.
Sementara pengertian tindak pidana perdagangan orang sendiri tertuang dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang  Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang rumusannya:
“Setiap  orang  yang  melakukan  perekrutan,  pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan  kekerasan,  penculikan,  penyekapan,  pemalsuan,  penipuan, penyalahgunaan  kekuasaan  atau  posisi  rentan  penjeratan  utang  atau memberi  bayaran  atau  manfaat  walaupun  memperoleh  persetujuan dari  orang  yang memegang  kendali  atas  orang  lain,  untuk  tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan paling  lama  15  (lima  belas)tahun  dan pidana  denda  paling  sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Sebelum diundangkannya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam sistem hukum Indonesia, penegakan hukum perdagangan orang mengacu pada pasal 297 KUHP. Namun sejalan dengan era globalisasi peraturan dalam KUHP ini dianggap tidak sesuai lagi, sehingga dilakukan regulasi hukum melalui tataran formulasi. Rergulasi hukum tentang perdagangan orang disesuaikan dengan sasaran pembangunan hukum nasional, yaitu meliputi kaidah-kaidah/ norma hukum, aparatur dan organisasi penegak hukum termasuk pelaku hukum pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan sampai penyuluhan hukum, pelayanan hukum, dan pengawasan hukum.

Peraturan tentang perdagangan orang merupakan adanya pengakuan dari hukum dan bukan semata-mata didasarkan pada pelindungan hukum. Pengakuan dari segi hukum lebih penting dari perlindungan hukum, karena dalam pengakuan muncul adanya sikap bersama yang melekat dan bertujuan untuk keteraturan/ketertiban sebagia salah satu sarana untuk mencapai keadilan. Atas dasar itu hak terkait dengan status dan berakibat apabila berinteraksi dengan sesamanya.
“Demikian pula dengan pengakuan hukum terhadap hak asasi manusia sangat bergantung pada status manusia secara individual sebagai pengemban kodrat kemanusiaan. Namun menurut Sudikno Mertokusumo, setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu hak dan kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, demikian juga tidak ada kewajiban tanpa hak.”

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang terjadi, salah satunya ialah kemiskinan. Kemiskinan telah mendorong anak-anak utuk tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapat keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Hal ini menyebabkan bnayak orang mudah ditipu olh pelaku perdagangan orang (trafficker). Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka dengan mudahnya direkrut oleh para pelaku perdagangan orang (trafficker). 
“Menurut Endang Sri Hastuti, kejahatan tindak pidana perdagangan orang tampaknya sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan atau tergolong sebagai extra ordinary crime dan transnatioal crime. Pasalnya, kejahatan tersebut sudah bersifat meluas dan sistematis yang dari kondisi realistis di Indonesia telah menjadi perbuatan yang membahayakan tatanan kehidupan dan mengancam sendi-sendi kehidupan.”

Fakta perdagangan orang (human trafficking) dalam dekade terakhir ini menjadi sorotan berbagai pihak baik ditingkat nasional maupun internasional. Para pemerhati menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan orang, pelaku (trafficker), penegakan hukumnya hingga penanganan korban perdagangan orang (trafficking), serta pemulihan hingga rehabilitasi dan reintegrasi korban perdagangan orang.
Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Dengan peraturan perundang-perundangan yang sudah ada, seharusnya pemerintah Indonesia bisa menjerat pelakunya dan memberikan perlindungan bagi korban. Pemerintah Indonesia  yang dimaksud di sini adalah pihak aparat penegak hukum, yang termasuk di dalamnya adalah polisi, jaksa, dan hakim.

Dalam menegakan hukum khususnya tindak pidana perdagangan orang, aparat hukum dirasa kurang optimal dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini terlihat dari adanya kurang koordinasi antara aparat penegak hukum sehingga terkadang hanya pelaku kelas teri saja yang ditangkap sedangkan para pemodal dan beking dari tindak pidan tersebut tidak dapat tersentuh.
Kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di NTT. diantaranya kasus tindak pidana perdagangan orang di Kupang NTT dengan  terdakwa Helena Pakpahan merupakan contoh kasus yang terjadi pada tahun 2016. Perbuatan terdakwa yang merekrut dan menampung korban, Eki Evita Selan (17) untuk diberangkatkan ke Medan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) tanpa seizin orang tua korban merupakan tindakan penculikan seseorang yang melanggar Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang perlindungan anak dan pasal 2 Undang-Undang  No. 21 tentang PTPPO.
Kemudian kasus yang terjadi di Kab. Ende NTT dengan terdakwa Habiba Muhamad. Dimana  terdakwa diduga melakukan tindak pidana perdagangan orang pasal 10 Jo pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 21 tahun  2007. Contoh kasus diatas menggambarkan bahwa pentingnya upaya pencegahan dan penanggulan permasalahan ini dilakukan ditingkat internasional, lokal dan regional, dengan melakukan kerja sama dan bekerja keras untuk mencegah permasalahan ini. Bukan hanya pemerintah dan pihak kepolisian tetapi semua instansi-instansi yang terkait misalnya dinas sosial, dinas kependudukan, LSM dan semua elemen dalam masyarakat untuk turut berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan ini. (AL/MB.HT/glarangkempo.blogspot.com)

Jakarta (Marga III), 17 Desember 2017

    email this       edit

0 Komentar:

Posting Komentar